Jumat, 02 Mei 2008

YA RASULULLAH, SALAMUN ‘ALAIK

YA RASULULLAH, SALAMUN ‘ALAIK
(ditukil dari buku Jalaluddin Rakhmat yang berjudul “Rindu Rasul, Meraih Cinta Ilahi
Melalui Syafaat Nabi saw”)

Rasulullah saw bersabda, “Cintailah Allah atas limpahan nikmat-Nya kepadamu.
Cintailah aku karena kecintaan kepada Allah. Dan cintailah keluargaku karena
kecintaanku.” (H.R. Al Turmudzi, Al Hakim, Al Suyuthi)
Nabi saw bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kamu sebelum aku lebih
dicintainya daripada anaknya, orangtuanya dan semua manusia.”
“Tidak mungkin cinta didefinisikan secara lebih jelas kecuali dengan cinta lagi.
Definisi cinta adalah wujud cinta itu sendiri. Cinta tidak dapat digambarkan lebih jelas
daripada apa yang digambarkan oleh cinta lagi,” kata Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam
Madarij al-Salikin.
Banyak orang berziarah ke pusara Rasulullah saw di Madinah. Setengahnya
datang ke situ tanpa cinta. Mereka tahu dan percaya bahwa di balik pintu besi itu
dibaringkan jasad Nabi yang suci. Mereka mencoba menengok ke dalam makam
seperti anak kecil yang dirangsang oleh rasa ingin tahu. Mereka lewati makam dengan
ringan tanpa beban. Boleh jadi ada di antara mereka yang tertawa karena (atau
menertawakan) tingkah laku orang-orang yang dipandangnya aneh. Pikirannya masih
ingat pada papan peringatan yang dilihatnya sebelum masuk ke masjid (Dilarang
memohonkan apa pun kepada orang yang sudah mati). Dan Muhammad saw sudah
mati.
Setengahnya lagi datang ke makam Rasulullah saw dengan cinta. Mereka
berhenti dahulu di pintu masjid. Dengan penuh kerendahan hati, mereka memohon
perkenan Nabi saw untuk menerimanya sebagai tamu. Mereka merasa malu, datang
dari tempat jauh dengan memikul dosa di punggung mereka. Mereka mengaku
umatnya, tetapi setiap hari mempermalukan Rasulullah saw yang suci dengan
kekotoran akhlaknya. Hatinya perlahan-lahan menjadi rapuh dan lembut. Ketika
mereka mengucapkan “Assalamu ‘alaika ya Rasul Allah”, mereka terisak-isak
menangis.
Lalu, masuklah mereka ke masjid dengan langkah yang berat. Mereka bukan
hanya tahu tetapi merasakan bahwa di balik pintu besi itu ada Rasulullah saw yang
menatap mereka dengan penuh sayang. Mereka tidak berani mengangkat kepalanya.
Jantungnya berdegup keras. Sebentar lagi mereka akan berjumpa dengan sang
Kekasih. Sebentar lagi mereka akan melepaskan kerinduannya pada manusia suci
yang telah membimbingnya ke jalan Tuhan. Tetapi kerinduan itu bercampur dengan
rasa malu (Harus ke mana aku sembunyikan mukaku yang sudah kotor ini?). mereka
ingin merebahkan kepalanya di dinding pusara Rasul. Mereka ingin melepaskan
kerinduannya dengan menciumi dinding-dinding besi itu sepuas-puasnya. Seperti
Majnun yang berkata, “Aku ciumi dinding rumah Layla, bukan karena dinding itu,
tetapi karena dia yang berada di balik dinding itu.”
Kelompok yang kedua ini adalah orang yang keimanannya kepada Rasulullah
saw sudah mencapai tingkat syuhud. Ia bukan hanya percaya tetapi merasakan. Bukan
hanya yakin tetapi juga menyaksikan. Pada kelompok ini, iman dirasakan
kelezatannya. Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga hal yang bila ada semuanya pada
diri seseorang, ia akan merasakan manisnya iman: pertama, Allah dan Rasul-Nya
lebih ia cintai dari apa pun selain keduanya; kedua, ia mencintai orang semata-mata
karena Allah; dan ketiga, ia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah
menyelamatkannya seperti ia benci untuk dilempar ke dalam api neraka” (Shahih
Bukhari). Dalam riwayat dari Abbas bin Abdul Muthalib, Nabi saw bersabda, “Yang
merasakan manisnya iman adalah orang yang suka (ridho) menerima Allah sebagai
Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad saw sebagai Rasul.” (Shahih
Muslim)
Pada suatu hari Rasulullah saw berziarah ke sebuah pekuburan. Ia berkata:
Salam bagimu, wahai kampung kaum mukminin. Insya Allah kami akan menyusul
kalian. Aku rindu sekali untuk berjumpa dengan ikhwan kami. Para sahabat berkata:
Bukankah kami saudara-saudaramu, ya Rasul Allah. Beliau bersabda: Kalian adalah
sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang-orang yang belum datang sampai
sepeninggalku (Shahih Muslim). Dalam kesempatan lain, Nabi saw menjelaskan
orang-orang yang dirindukannya itu: “Umat yang paling besar kecintaannya kepadaku
ialah manusia yang datang sesudahku. Setiap orang di antara mereka ingin sekali
berjumpa denganku walaupun harus mengorbankan keluarganya dan hartanya.”
Berbahagialah mereka yang berjumpa dengan Nabi saw di dunia ini –walaupun
dalam mimpi. Berbahagialah mereka yang dijemput Nabi saw ketika mereka
meninggalkan dunia ini. Berbahagialah mereka yang diberi minum di telaga Kautsar
dari tangan Nabi saw yang suci sehingga mereka tidak pernah haus lagi selamalamanya.
Berbahagialah mereka yang mencintai Rasulullah saw dengan sangat,
sehingga ia juga merindukan pertemuan dengan mereka. Ya Rasulullah saw, jadikan
aku seorang di antara mereka.
Pada zaman Bani Israil ada seseorang yang bermaksiat kepada Allah selama dua
ratus tahun. Kemudian dia mati, dan kaumnya menyeret jenazahnya pada kakinya dan
melemparkannya ke tempat pembuangan sampah. Lalu Allah memberikan wahyu
kepada Musa as: Keluarkan orang itu dan salatkan ia. Nabi Musa as berkata: Tuhanku,
Bani Israil sudah bersaksi bahwa ia bermaksiat kepadamu selama dua ratus tahun.
Lalu Allah menjawabnya dengan wahyu: Memang demikian keadaan dia; hanya saja
setiap kali ia membuka Taurat, dan melihat nama Muhammad, ia menciumnya,
meletakkannya pada kedua matanya dan bersalawat baginya. Aku berterima kasih
kepadanya dan Aku ampuni dosa-dosanya. (Hilyat al-Awliya)
Usai Perang Badar, Jabir bin Abdillah menghadap Nabi saw. “Hai Jabir,” tegur
Nabi saw dengan suara yang ramah dan penuh kasih, “Mengapa aku lihat kamu
tampak sangat sedih?” Jabir menjawab: Ya Rasul Allah, ayahku baru saja syahid di
Badar. Ia meninggalkan keluarga dan utang yang banyak. Rasulullah saw bertanya:
Maukah kamu menerima kabar gembira tentang bagaimana Allah menyambut
ayahmu? Jabir: Tentu! Rasulullah saw berkata: Allah tidak pernah berbicara dengan
makhluk-Nya kecuali melalui tirai. Dia menghidupkan ayahmu dan berbicara
dengannya berhadap-hadapan. Ia berfirman: Hai hamba-Ku, mintalah kepada-Ku,
Aku akan memberimu. Ayahmu berkata: Tuhanku, hidupkanlah aku lagi, biar aku
berperang di jalan-Mu untuk kedua kalinya. Tuhan berfirman: Sudah berlaku
ketentuan-Ku, orang yang sudah terbunuh tidak akan kembali lagi ke dunia. Ia
berkata: Jika begitu, sampaikanlah, duhai Tuhanku, kepada orang yang dibelakangku
tentang kebahagiaan yang aku peroleh.
Setelah ini, turunlah ayat “Janganlah sekali-kali kamu mengira orang-orang
yang dibunuh di jalan Allah itu mati. Bahkan mereka hidup di hadapan Tuhan mereka
dan diberi rezeki. Mereka bergembira dengan apa yang Allah berikan sebagai
anugerah-Nya kepada mereka. Mereka berbahagia demi orang-orang yang belum
menyusul mereka di belakang mereka. Tidak ada rasa takut bagi mereka dan tidaklah
mereka berduka cita.” (Q.S. Ali Imran: 169-170).
Ungkapan “janganlah sekali-kali” disebut sebagai tawkid, penegasan. Tuhan
menegaskan dengan sangat bahwa orang yang mati syahid itu tidak mati. Ia hidup di
tempat lain dan tetap diberi rezeki. Mereka menyaksikan orang-orang yang
ditinggalkannya, mendoakan mereka, dan bahkan menolong mereka bila diperlukan.
Kepada orang yang syahid diberikan wewenang untuk memberikan syafaat kepada
tujuhpuluh orang keluarganya.
Karena para syuhada masih hidup, mereka masih diizinkan Tuhan untuk
berinteraksi dengan saudara-saudaranya kaum mukmin yang ditinggalkannya. Mereka
turut berbahagia ketika orang-orang menyusulnya dengan kesyahidan lagi. Mereka
mendoakan orang-orang yang menziarahinya dengan kebaikan. Mereka masih ikut
serta dalam membentuk sejarah kaum muslimin sepanjang masa. Darah mereka telah
menyirami bumi Allah agar tumbuh pohon-pohon keadilan dan merekah mawar
kesucian di dalam taman kemanusiaan.
Rasulullah saw bersabda: “Di atas kebaikan ada lagi yang lebih baik; kecuali
mati syahid.” Tidak ada yang lebih baik daripada mati syahid. Dalam ayat ini,
syuhada disebut sebagai “orang-orang yang dibunuh di jalan Allah.” Sudah sepakat
para ulama bahwa para nabi alaihim al-salam semuanya syuhada. Nabi saw adalah
sayyid al-syuhada, penghulunya para syahid.
Bagi para ulama itu, Rasulullah saw tidak mati. Ia masih hidup di sisi Allah swt.
Syafaat–bantuan atau pertolongan– Nabi saw bukan hanya terjadi pada hari akhirat.
Ketika beliau masih berada di tengah-tengah sahabatnya, sebelum maut
menjemputnya, orang-orang datang kepadanya, memohonkan bantuannya. Kepadanya
mengahadap orang sakit untuk menyembuhkan penyakitnya, orang lapar untuk
mengenyangkan perutnya, orang miskin untuk mengatasi kekurangannya, dan orang
susah untuk memenuhi keperluannya. Sekarang, para ulama yakin bahwa kita masih
bisa datang menemui beliau. Jika sekiranya Nabi saw hanya membantu para
sahabatnya saja, ia tentu tidak lagi menjadi rahmatan lil ‘alamin. Seperti telah saya
sebutkan dalam Salam Bagimu, keyakinan bahwa Rasulullah saw masih hidup
mempunyai dasar yang sangat kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Bagi para ulama,
istisyfa’ bukan hanya masalah believeing; ia juga masalah seeing. Mereka tidak hanya
percaya. Mereka menyaksikannya.
Dalam salah satu perjalanan haji saya, saya berjumpa dengan dengan kaum
Muslim dari Arab Saudi, yang mengungsi ke Jordan. Salah seorang di antara mereka
memberikan kepadaku majalah Al-Haramayn, majalah kaum disiden kerajaan Saudi.
Dalam artikel yang berjudul Al-Mu’jizat al-Khalidah, diberitakan peristiwa yang
terjadi pada salah satu musim haji. Seorang peziarah dengan menggendong anaknya
berusaha mencium pintu makam Nabi saw. Tentu saja ia dihardik beberapa kali oleh
askar yang menjaga tempat suci itu dengan bentakan: Syirk! Ia bersikeras. Askar itu
mendorongnya dengan kasar. Ia terjatuh dan anaknya terlempar. Ia menjerit, “Ya
Rasul Allah, saya datang dari negeri jauh untuk melepas rinduku padamu. Engkau
saksikan apa yang diperbuat dia kepadaku. Aku adukan ia kepadamu.” Tiba-tiba askar
itu tersungkur. Ia mati. Believe or not.
Katakanlah: Beramallah kalian. Maka Allah akan melihat amal kamu, juga
Rasulullah dan orang-orang beriman. (Q.S. Al-Tawbah; 105) Selain Allah swt,
junjungan kita juga mengawasi apa yang kita lakukan. Imam Ja’far as berkata kepada
sahabat-sahabatnya: “Janganlah kalian membuat Rasulullah saw berduka cita.”
Seorang di antara mereka bertanya: “Biarkan aku menjadi tebusanmu, apa yang
dimaksud membuat duka Rasulullah?” Ia menjawab: “Tidakkah kalian sadari bahwa
amal-amal kalian diperlihatkan kepadanya. Jika beliau melihat kemaksiatan kamu
beliau berduka cita. Jangan dukakan hati Rasulullah saw. Gembirakan dia.” (Bihar al-
Anwar 23:349, hadis 55).
Ya Rasul Allah, maafkanlah kami yang hina dina ini. sayangilah kami yang
lemah ini. Ya Rasul Allah kami sering lupa bahwa engkau selalu mengawasi kami dan
menyaksikan apa pun yang kami lakukan.
Janganlah mencintai segala sesuatu melebihi cinta kepada Allah SWT dan
Muhammad SAW. (pen)